SURABAYA, 3detik.com – Memberikan perhatian serius untuk pencegahan bullying atau perundungan, disinyalir Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya dinilai gagal dalam menerapkan.
Santer, informasi publik tengah beredar belum lama ini, bahwa siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kawasan Pabean Cantikan, Kota Surabaya terjadi korban bullying hingga sampai mengalami trauma.
Pengaduan kasus bullying, korban berinisial CW (14) berani melapor ke Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada 1 Oktober. Namun korban menerima intimidasi dari pihak sekolah.
Setelah korban CW membuat laporan itu, dipanggil oleh pihak guru bimbingan konseling (BK) dan Wakil Kepala Sekolah (Wakasek). CW selaku korban, diminta untuk mencabut laporan tersebut. Saat menolaknya, korban CW di cap/dianggap sebagai siswa egois, serta di tuduh mencemarkan nama baik sekolah.
Bahkan, lebih mengejutkan lagi pihak sekolah menyebutnya kalau korban CW mencemarkan nama baik sekolah itu mirisnya sama seperti hama. Bukan hanya ancaman secara verbal, pihak sekolah diduga mencoba menyuap uang kepada korban CW sebesar Rp 500 ribu untuk menyetujui pencabutan pengaduan tersebut.
“Yang bahaya, korban CW bolak-balik ingin bunuh diri, merasa kosong hidupnya tidak ada yang membantu malah di salahkan terus,” kata Johan Widjaja, pengacara korban CW dalam keterangannya diterima 3detik.com, Rabu (11/12/2024).
Bullying menimpa korban CW sejak duduk di bangku sekolah kelas VII sering menjadi sasaran bahan ejekan maupun kekerasan fisik oleh 6 (enam) kawan sekelasnya yaitu, berinisial MIA, AP, MR, KH, DR, dan MU. Teman-temannya juga kerap menghina korban CW yang kata-katanya kurang pantas dengan sebutan hewan, seperti babi dan anjing. Hingga, korban CW pernah mengalami ancaman oleh kawannya dengan pisau.
“Pukulan dan tendangan juga menjadi bagian dari siksaan yang dialami korban CW,” terangnya Johan.
Korban CW yang mengaku suka mata pelajaran (Mapel) ilmu pengetahuan alam (IPA), beberapa kali mengadu ke guru di sekolahnya itu, tetapi di abaikan. Korban CW dan teradu juga tidak pernah di pisah yang satu kelas sejak kelas VII hingga kelas IX.
Dari pihak sekolah seakan-akan menutup mata dalam kasus bullying. Miris sekali, karena (bullying) dilakukan di sekolah. Oleh karena itu, para teradu dapat di proses meskipun menggunakan delik undang-undang perlindungan anak.
“Saya sampaikan agar pihak pimpinan sekolah untuk segera di copot, karena ada tidak ada solusi apapun bagi korban CW,” pungkas Johan menegaskan.
Terpisah, guna keseimbangan pemberitaan, Kepala Dinas Pendidikan (Kadispendik) Kota Surabaya, Yusuf Masruh dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pribadinya terkait persoalan tersebut, pihaknya tidak merespon. Saat mencoba menghubungi kembali via telepon seluler WhatsApp, Kadispendik Yusuf Masruh tetap tidak menanggapi. (tim/red)